Kamis, 11 Februari 2016

Akal atau Hati?



Sulitkah akal tuk menang  akan hati. Atau ia hanya mengalah? Puluhan  ‘tidak’  menggema diotakku, namun cukup hati berucap 'Ya', mampu meluluh lantahkan komitmen yang kubangun.  Siapa yang salah? Mata kah, yang salah mengerti arti tatapan? Bibirkah, yang  merekah kala mata menangkap sosoknya? Atau pipi yang merona,kala mata saling jumpa?

 Kurasa, indera itu berulah semaunya sendiri. Ya, mata, yang menabur bumbu di lubuk. Ia yang menjadi alasan, pertikaian didalamku.  Janji yang kutegakkan, tuk lenyapkan sosoknya dari pandangku. Hanyalah  gema suara tak terdengar. Angin jadi saksi, akan aku yang tak mampu. Meja meja bisu berdeham manakala memergokiku. Aku memang selalu gagal, mata ini berbisik . “kau lihat, mungkinkah dia suka?”. Bisikan yang terdengar gila. Akal berteriak,menjelaskan sejuta rasio. Namun hati tak kenal logika. Buai kata meluluhkannya.  Fakta yang tak  tergapai olehnya, menumbuhkan benih rasa yang sia sia.  

 Kutarik kesimpulan. Mata yang semaunya sendiri, mememutuskan hal yang tak pasti. Hati polos mudah dibodohi. Akal dengan sejuta sel dan logika rumitnya, namun selalu kalah. Lalu siapa aku? Hatikah? Matakah? Akalkah? Bukan. Aku adalah kesatuan akan himpunan rasa dan rasio.

Kamis, 04 Februari 2016

Harapan Terpendam



Badai pasti berlalu, kalimat penenang penguat jiwa. Dulu aku selalu percaya, bahkan kagum akan kata itu. Tapi kini, aku mulai berpikir, badai takan pernah berlalu. Mungkin ia telah pergi, tapi akan datang badai badai yang lain. Aku sudah bertemu dengan puluhan badai. Yang kupikir mereka hanya mampir, dan segalanya akan berakhir bahagia. Bohong, fakta itu hanya di negeri dongeng. Di bumi tempat manusia berpijak, terlebih disini dalam perahu kehidupanku, badai silih berganti menyapaku. 

Sering kubertanya pada hembus angin malam, akankah terus seperti ini? Tak bisakah perahuku tertambat lebih lama, kenapa cepat sekali ombak menerjangku? Kadang kutengok perahu tetangga, damai tenang ditengah lautan, jikalau ada badai itupun takan singgah lama. Perahu  yang kutekankan disini adalah keluargaku. Perahu dimana suara tangis masa kecilku terdengar. Perahu dimana sembilan bulan ibu mengandungku. Kenapa perahu iniselalu karam? Sudah berulang kali direnovasi, tapi selalu berakhir seperti ini. Pernah ku berpikir, apakah ini kutukan? Siapa yang bersalah diantara kami? Siapa yang mengutuk?

 Kisah dalam perahu ini secuil terdengar ke telinga orang orang awam. Sisanya tersimpan dan terpendam. Mirisnya hanya kisah teragis dan keburukan yang bocor keluar. Senyum dan bahagia hanya tersimpan, bahkan mungkin dilupakan. Apakah hanya aku yang menyimpannya? Membingkainya, dan kupajang di sisi terdalam hatiku. Tapi pemikiran negatifku itu sangatlah tidak dewasa. Sama saja aku menyalahkan Tuhan. Aku sering dengar ribuan kisah di dunia. Kisah teragis, kisah bahagia.

 Dan aku mengalami satu kisah di dunia ini. Kisah bahagia dengan rasa pilu yang tersembunyi. Mereka mungkin tak tau. Mereka mungkin tak mengerti. Tak sepenuhnya yang mereka lihat dan pikirkan tentangku itu benar. Yang jelas, aku punya mimpi yang kukubur, aku ingin kami utuh, aku ingin kisahku saperti kisah perahu lain yang berakhir indah. Tapi apakah hanya akan terkabul di negeri dongeng? Hanya Tuhan yang tau.

Minggu, 24 Januari 2016



Merasa tak pantas, walau sekedar  mencintai,
Merasa tak layak mengukir nama dihati,
Serendah itukah?
Diriku saja menolaku, bagaimana dengannya,
Bisikan yang bertahta diotakku, menahanku tuk jatuh hati,
Walau kadang hsrat tak terkendali, berlari melayang tinggi,

Aku sadar akan rasa yang sia sia,
Yang hanya menyisakan perih,
Lalu sampai kapan? Apa hak itu tak diberikan padaku,
Tp bukankah cinta adalah milik mereka yang mempunyai hati,
Bukankah aku juga manusia seperti yang lain,

Bodoh, siapa yang melarang.. diriku yang berkata tidak,
Diriku yang merendahkanku, ucapanku sendiri, pikiranku sendiri,
Aku tau diri, tapi ini berlebihan, rendah diri namanya,
jika aku menyerah dan mencoba membuka rasa,
bagaimana jika berakhir dengan tragedi yang sama,
kenyataan yang ia sukai justru sahabatku sendiri,

Kalau memang takdir sudah tertulis dilangit,
Dan Tuhan berkata Ya, mau bagaimana lagi,
Aku hanya bisa terluka dan tersenyum,
Cinta, bahagia dan luka cukup aku yang tau,
bagaimanapun kenyataannya,,
Ikhlaskan saja.

Kamis, 24 Desember 2015

Tidak Jelas


                Hanya cuap cuap sederhana, ditemani segelas air hangat. Rasa membuncah dari dalam yang menjadi alasan bagi Re mengetik lembaran ini. Gelisah. Ini berawal dari hari kemarin. Hari ibu. Tidak, ini berawal sejak tangis pertamanya di bumi, sejak takdirnya tertulis dilangit. Re tak paham akan hatinya sendiri. Ia berlari bergejolak tak terkendali.

Hari ibu. Re melirik sekilas televisi yang menayangkan serangkaian acara tentang ibu. Derai airmata pemain tak mengelabuhinya sama sekali. Jangankan menangis menatapnya saja tidak. Hanya lirikan sekilas. Aneh, hatinya sama hambarnya dengan air putih yang ia tegak. Re merasa tersudut diantara milyaran manusia di bumi. Apa hanya ia sendiri? Ataukah rasa ini hanya singgah sementara karna  pertengkatannya dengan ibunya? Terkadang hatinya bertanya, Apa segalanya dapat berubah? Terkadang jiwanya  berandai, Jika sejak lahir takdir tidak seperti ini?  Akankah semuanya lebih indah?

Sejak otaknya mampu diajak  berpikir, tepatnya sejak  delapan tahun lalu. Pikiran pikiran itu mengisi tiap ruang otaknya. Tapi kini diumur dimana hatinya mampu diajak merasakan. Re sadar ia tak dapat memilih kehidupan mana yang ingin ia jalani, tapi hidup yang memilihnya. Ia dipilih untuk menjalani dan menjadikan segala rasa kehidupan menjadi indah.

            Re mulai mengerti, setiap hidup itu indah, bagaimanapun rasanya entah pahit, manis, asin, atau hambar sekalipun takdir tetaplah indah, tak ada yang lebih baik dari ini.  Tentang keluarganya yang penuh gejolak perkara, tentang hubungan rumit dengan ibunya. Tentang hidupnya yang  ia sendiri tak begitu paham. Re mulai belajar menerimanya. Meski kadang datang  hari seperti ini, dimana hatinya gelisah dan sedih. Dimana ia tak menemukan jawaban atas tanda tanyanya. Tapi ia harus tetap berjalan.

Jumat, 04 Desember 2015




Terkadang ku ingin menjadi kupu kupu, dimana hidup tak perlu menunggu satu tahun berlalu. Singkat. Adakalanya aku ingin menjadi awan yang sewaktu waktu bisa lenyap.

Tapi ini lah aku, sosok makhluk Tuhan yang sempurna. Manusia, dimana rasa haus tak pernah terpuaskan.
.
.
.