Senja.
Akhir akhir ini aku mengaguminya. Saat dimana aku sendiri, terterpa sinar damai. Lembut. Bersama alunan musik kuputar kenangan yang kulalui dari umur ke umur.
Seperti baru kemarin namun terasa jauh. Hening, hanya kicau burung berbaur instrumen klasik. Di senja ini, gravitasi menyeretku kembali pada kepingan peristiwa lalu.
Aku teringat, masa kecil, berbonceng dengan ibu dan bapakku, buah nangka diantara kami. Masa itu bagaimimpi. Aku yang mungil terapit diantara hangatnya keluarga. Aku juga teringat dengan ‘sedan’ yang didalamnya ada aku, masku, mbakku dan kedua orang tuaku. Bercengkrama, tertawa. Seakan mimpi.
Tak luput , kenanganku dengan kedua saudaraku dimana yang ada hanya keluguan, kepolosan, tanpa beban masalah yang berati. Aneh yang ada disudut otakku hanya manis masa itu. Kenangan pahit lenyap akan waktu. seperti baru kemarin tapi terasa sangat jauh. Jauh.
Saat kubuka mata, senjaku berganti malam. Sepi. sendiri. Perpecahan diantara kami. Memaksaku berjalan sendiri.menuntunku pada kedewasaan. masa kecil yang kupercaya akan abadi kini mengingkari. Adzan maghrib, menyentakku, menegurku akan kewajiban ibadah rutin. Mengingatkanku akan setumpuk tugas, ulangan yang masih menunggu untuk dijamah. Cukup sampai disini. Akan kunanti damainya senja dikemudian hari.
Selasa, 08 September 2015
abal abal
Detik penyesalan
Telontar juga ungkapan pedasku,
Tanpa pikir hancurlah hatinya
Telah kukoyak kelembutan hati
Tak mampu kudengar bisikan nurani
Yang ada hanya amarah gelombang emosi
Umpan tak diundang mengaitku dalam
Satu detik telah berlalu
Detik yang satu kali dalam hidup
Tak mampu ku kembali pada detik itu
Kini hanya tersisa berkas penyesalan
Ruang otakku kosong, tak mampu berpikir
Mulut ini telah memutus rantai persabatan
Sorot matanya memantulkan aku sebagai sosok mengerikan
Ia hanya terdiam membisu
Menyelami kesakitan dalam jiwa
Sebongkah kecewa mengganjal hatinya
Linang air matanya tak terbendung
Akulah orang yang menoreh luka dalam Menancapkan paku abadi
‘Maaf’ ingin kulontarkan,
Tapi mulutku kaku,
Akankan satu kata cukup menghapus sakit itu? Akankah kata itu mampu membalut lukanya?
Tak berkutik aku disini
Hanya terdiam
Terbenam dalam laut penyesalan
Telontar juga ungkapan pedasku,
Tanpa pikir hancurlah hatinya
Telah kukoyak kelembutan hati
Tak mampu kudengar bisikan nurani
Yang ada hanya amarah gelombang emosi
Umpan tak diundang mengaitku dalam
Satu detik telah berlalu
Detik yang satu kali dalam hidup
Tak mampu ku kembali pada detik itu
Kini hanya tersisa berkas penyesalan
Ruang otakku kosong, tak mampu berpikir
Mulut ini telah memutus rantai persabatan
Sorot matanya memantulkan aku sebagai sosok mengerikan
Ia hanya terdiam membisu
Menyelami kesakitan dalam jiwa
Sebongkah kecewa mengganjal hatinya
Linang air matanya tak terbendung
Akulah orang yang menoreh luka dalam Menancapkan paku abadi
‘Maaf’ ingin kulontarkan,
Tapi mulutku kaku,
Akankan satu kata cukup menghapus sakit itu? Akankah kata itu mampu membalut lukanya?
Tak berkutik aku disini
Hanya terdiam
Terbenam dalam laut penyesalan
Langganan:
Komentar (Atom)