Hanya
cuap cuap sederhana, ditemani segelas air hangat. Rasa membuncah dari dalam
yang menjadi alasan bagi Re mengetik lembaran ini. Gelisah. Ini berawal dari
hari kemarin. Hari ibu. Tidak, ini berawal sejak tangis pertamanya di bumi,
sejak takdirnya tertulis dilangit. Re tak paham akan hatinya sendiri. Ia berlari
bergejolak tak terkendali.
Hari ibu. Re
melirik sekilas televisi yang menayangkan serangkaian acara tentang ibu. Derai airmata
pemain tak mengelabuhinya sama sekali. Jangankan menangis menatapnya saja
tidak. Hanya lirikan sekilas. Aneh, hatinya sama hambarnya dengan air putih yang
ia tegak. Re merasa tersudut diantara milyaran manusia di bumi. Apa hanya ia
sendiri? Ataukah rasa ini hanya singgah sementara karna pertengkatannya dengan ibunya? Terkadang hatinya
bertanya, Apa segalanya dapat berubah? Terkadang jiwanya berandai, Jika sejak lahir takdir tidak
seperti ini? Akankah semuanya lebih
indah?
Sejak otaknya mampu diajak berpikir, tepatnya sejak delapan tahun lalu. Pikiran pikiran itu
mengisi tiap ruang otaknya. Tapi kini diumur dimana hatinya mampu diajak
merasakan. Re sadar ia tak dapat memilih kehidupan mana yang ingin ia jalani, tapi
hidup yang memilihnya. Ia dipilih untuk menjalani dan menjadikan segala rasa
kehidupan menjadi indah.
Re mulai
mengerti, setiap hidup itu indah, bagaimanapun rasanya entah pahit, manis,
asin, atau hambar sekalipun takdir tetaplah indah, tak ada yang lebih baik dari
ini. Tentang keluarganya yang penuh
gejolak perkara, tentang hubungan rumit dengan ibunya. Tentang hidupnya yang ia sendiri tak begitu paham. Re mulai belajar
menerimanya. Meski kadang datang hari seperti
ini, dimana hatinya gelisah dan sedih. Dimana ia tak menemukan jawaban atas
tanda tanyanya. Tapi ia harus tetap berjalan.