Aku rasa, lelah kata yang pas untuk detik ini, memejamkan
mata barang semenit saja sangatlah mahal harganya. Skripsi yang memaksa fisik
terus terjaga, meski nyatanya lamunanku kembali pada tiga tahun silam.
Flashback on
Hari itu, tahun 2011
"kak, satu permen harganya berapa yaahhh?" gadis
mungil menarik ujung kemeja yang
kukenakan, matanya teduh nampak lugu. "seratus
rupiah, memangnya kenapa dek?" balasku, Ia mengulas senyum.
"seseorang menyuruhku menyampaikan pesan untuk kakak,
dengan imbalan lima buah permen kurasa kurang…" ia tertunduk malu, kaki
mungilnya ia gesekan ketanah. Seakan tau maksudnya, ku rogoh saku kemejaku,
menyerahkan dua lembar uang seribuan ke tangannya.
"terimakasih kak, ini untuk kak…." Gadis itu
menggantungkan kalimatnya, tangannya terulur menggenggam kertas bercorak bunga.
"Rena.. terimakasih yahh.." kuulas senyum
serambi meraih kertas itu. Kertas
berukuran tanggung dengan corak bungga sepatu, tak tertera nama didalamnya. 'hai
Ren, masih ingat aku? Jangan bilang lupa… kamu udah gede ya sekarang… jangan
lupa janji kita dulu, taman sakura jam empat sore…'
Hanya pesan singkat
itu yang kudapati. Satu nama terlintas dibenakku 'Ryan' anak itu masih sama,
nyalinya tak bertambah sedikitpun. Ku ulas senyum mengingat sosok Ryan, yahh
dia sahabatku, sahabat semasa kecilku.
Setengah jam duduk disini tak membuatku jenuh, anak
anak berkisar lima tahun berlalu lalang dibawah pohon
sakura, ada yang berlari merentangkan tangannya, ada pula yang menjerit saking
girangnya. Ini sepuluh kalinya kulirik arloji ungu yang melilit pergelangan
tangan kiriku. 'huuhhh, bagaimana bisa seseorang tak berubah sama sekali
setelah dua tahun berlalu?'
Kulemparkan pandang pada jalan setapak yang tak jauh dari
taman, sepeda oranye tambak melaju kian cepat, tepat diatasnya seorang pemuda
berpawakan kurus mengayuhnya antusias, peluh menghias wajah pria itu. Kepalaku
menggeleng pelan, paham akan tingkah lakunya.
Pemuda itu tergopoh gopoh kearah ku, ia berhenti sejenak
mengatur napasnya yang memburu. "maaf… apa sudah lama?" ucapnya masih
berdiri disana, "duduklahh.." dengan lembut kuraih tangannya,
memaksanya mengisi tempat kosong disampingku.
"hhh~ kamu ini,
masih sama yaa… jangan jangan kamu juga masih jarang mandi?" cibirku,
kulirik ia sekilas, anehnya ia tak marah, hanya tertunduk, wajahnya nampak
berpikir keras.
"Ren… boleh, aku mengulangi pertanyaan yang sama?"
kini manik matanya menatapku dalam, mata yang tampak sayu namun menentramkan.
Pertanyaan yang sama?' bibirku mengatup rapat, ku hanya menggelengkan kepala, tau
apa yang akan ia katakan.
"Ini terakhir kalinya Renn… kumohon dengerin aku, aku
tak tau apa Tuhan akan memberi kesempatan yang sama untukku?" mata sayu
itu kini dilingkupi air mata. Tangannya bergetar menggenggam jemariku, 'tes'
air mata itu jatuh jua menelusuri lekuk wajahnya. Ia tak melepaskan pandang
dariku. Entah rasa apa ini 'sesak' tak sadar air mata menggenangi pelupuk
mataku, aku masih enggan membuka mulut.
"Rena… aku nggak peduli kamu suka atau enggak, yang
jelas aku cuma pengen kamu tau, perasaanku ke kamu masih sama bahkan bertambah,
aku suka kamu Ren, mungkin balasanmu masih sama, tapiku harap kamu merubahnya,
Rena kamu mau nerima aku?" Ryan mengeratkan genggaman tangannya, matanya
tak menampakkan keraguan.
"yan, kamu tau sendiri kan? Ini enggak mungkin, kamu
bisa nrima aku, tapi apa orang tuamu memikirkan hal yang sama? Aku gak mau
merubah Ryan menjadi anak yang durhaka, aku juga nggak bisa memberikan hal yang
yang layak kamu terima, keterbatasanku yang gak nrima kamu.. maaf… aku gak bisa
merubah semuanya" kualihkan pandanganku darinya, air mataku tak terbendung lagi, meluncur bebas berkebalikan
dengan hatiku yang seakan terpasung oleh keadaan.
Keheningan, memenuhi taman ini, dimana aku dan Ryan masih
duduk diposisi yang sama, bedanya kini kami duduk berjauhan, tak sepatah
katapun yang terlontar, masih sibuk dengan pikiran masing masing. 'tak ada
gunanya semua ini.. berada didekatnya hanya membuatku terperosot semakin dalam'
pikiran itu memaksaku bangkit.
"aku harus pulang, kuharap pertemuan kita berikutnya
lebih baik dari ini.." hanya kata itu yang mampu kulontarkan, kini
kudapati diriku menjauh menembus sinar senja, dipersimpangan kulihat ia
masih terduduk tak berkutik sedikit pun.
Flasback off
Detik ini, tahun 2014
Kringgggg' kringgggg' kringgggg' dering nyaring telepon
membangunkanku dari nostalgia singkat tentang Ryan, tubuhku bersandar lemas
pada kursi putar yang tak asing bagiku, kertas skripsi berserakan dimeja ada
pula yang jatuh kelantai. Kuraih ganggang telepon disudut meja belajar, dan
langsung saja ocehan Nena memenuhi telingaku, seperti biasa, mengingatkan
makan, istirahat, belajar , segala agenda keseharianku, bedanya ucapan ulang
tahun yang ia teriakan setiap tahunnya kembali kudengar.
"iya terima kasih
mak, jadi… mulai sekarang jangan berlebihan lagi, aku sudah dua puluh tahun,
iyaa, sampai ketemu besok" kusudahi percakapanku dengan Nena via telepon. Tiga
puluh menit rekor tercepat, biasanya Nena baru akan memutus telepon bila sudah
lebih dari satu jam.
Ku abaikan kertas skripsi dan segala hal perkuliahan, segera
kubangkit meraih mantel yang tergantung apik ditepi dinding, Aku berjalan entah
kemana meninggalkan kontarakan minimalis yang kudiami memasuki gelapnya malam.
Empat kali mengitari jalan yang sama, sampai langkahku
terhenti menatap gantungan kunci yang
dipajang apik pada toko di pusat perbelanjaan kota, bagian atas toko tepat pada
perbatasan atap bertuliskan 'Miracle'
Lagi, anganku terseret ke hari yang sama bulan yang sama
seperti saat ini,
Flasback on
19 Desember 2011
Setelah pertemuan pertamaku dengan Ryan, kupikir ia akan
membenciku dan berusaha menghindari keberadaanku. Jauh dari dugaan, kami
semakin dekat, seakan tembok yang dulu telah runtuh, hanya kedekatan kami tak
lebih dari sebatas sahabat, kata cinta
yang sering terlontar dari mulut Ryan telah lenyap dari kupingku.
Hari menuju hari berjalan sangat indah, tak ada satu haripun
tanpa memory tentangnya. Seperti hari ini, tepat hari ulang tahunku yang ke
tujuh belas.
Kami berjalan mengitari kota, malam yang cukup dingin di
bulan desember, Ryan mendorongku yang terduduk pada kursi roda, inilah
keterbatasan yang kumaksud, keterbatasan yang merubah takdir kami.
Kami singgah di warung makan sederhana yang tentu menunya
tak kalah sederhana, tapi disini tempat favorit kami, menu yang biasa dipesan
sudah tertata apik diatas meja, tanganku yang
tak sabar meraih mangkuk mie ayam terhenti oleh tangan Ryan, ia menarik
kedua tanganku dalam genggamannya, mata itu kembali menatapku, sama persis
seperti pertemuan pertamaku dengannya, hanya air mata yang dulu sama sekali tak
tampak, matanya yang dulu sayu kini berbinar, ia melepas genggamannya, kini kudapati
gantungan kunci perak dengan bentuk lumba lumba pada genggamanku, motif bintang
mengitari tiap sudutnya.
Aku kembali menatap
Ryan, senyum tulus terulas diwajahnya. "anggap ini sebagai aku, meski
keberadaanku sangat jauh, tapi aku selalu ada disini, jaga baik baik yaaa… mungkin
sederhana mungkin bukan liontin atau kalung emas seperti kebanyakan, tapi
ketulusanku lebih besar dari kebanyakan… Ren, makasih atas hari hari yang kamu
kasih ke aku, makasih udah buat aku ngerasain ini, semua yang kamu beri dalam
hidupku akan menjadi kenangan indah yang akan kubawa kesana…" setelah
mengucapkannya Ryan berbalik memunggungiku,
Bisa kulihat punggungnya bergetar, sudah pasti ia menangis,
mungkin ia tak ingin terlihat lemah, ia selalu berkata ingin dikenang sebagai
pria paling tangguh didunia. Entah kenapa melihatnya seperti ini ada rasa
ganjil yang singgah didalamku, firasatku bertambah buruk. Setelah hening cukup
lama Ryan kembali menatapku senyum merekah lebar dari mulutnya menampakan
giginya yang tersusun rapi.
Lima bulan setelah hari itu, setelah ia mengantarku pulang,
tak pernah sekalipun sosoknya terlihat olehku, pernah kucoba mencarinya
kesegala tempat, kuhubungi teman temannya, siapapun yang dekat dengannya, tapi
hasilnya 'nihil' lagi keterbatasanku menjadi penghalang untuk mencarinya lebih
keras, hanya gantungan kunci yang tersisa, yang selalu kungenggam bahkan saat
kutertidur.
Flasback off
Detik ini, di bulan dan hari yang sama,
Dari hari itu sampai detik ini semua masih sama, tak ada
perkembangan. Ryan masih belum kembali, hanya kakiku telah kembali, kini aku
dapat berjalan sejauh mungkin, tapi itu saja tak cukup untuk melacak
jejakmu,aku tak sabar menemuimu, tak sabar kuberlari kearahmu memperlihatkan
betapa sehatnya aku. Tapi aku hanya bisa menanti, menantimu seperti dulu, menanti
gadis kecil memberiku selembar kertas berisikan pesan darimu, tapi sampai
kapan?
Kurogoh saku
mantelku, merasa tak menemukan apapun kurogoh semakin dalam, dan beralih ke
kantung yang lain, rasa panik mulai menjalariku. Aku berlari menelusuri tiap
langkah yang sebelumnya kulewati, hilang, tak mungkin.
"Nona, apa ini milik mu?" sentuhan tangan pada
bahuku, memaksaku menoleh. Mataku terbelalak, menyadari siapa wanita paruh baya
dihadapanku.
"Rena?" mata wanita itu menatapku lekat, tatapan
benci yang dulu sempat kulihat berlalih menjadi tatapan lembut penuh kerinduan.
"tante?" ucapku, yang dibalas pelukan olehnya, tangisnya pecah
sarambi mendekapku.
"mau temani
tante minum kopi?" tanyanya menyudahi pelukan kami, anggukan kepalaku
menjawab ajakannya.
Kini kami duduk berhadapan disebuah kedai kopi yang cukup
terkenal di kota ini, 'Destiny cofee shop'
Mulutku terkatup rapat, tangan ku mencengkram erat mantel
bulu yang kukenakan, rahang ku terasa kaku begitu pula tubuhku, keringat dingin
mulai menjalariku, aku berusaha keras mencerna segala cerita tante Dira, ibu
dari Ryan, cerita konyol yang sangat memuakan.
Meski tengah bercerita, air matanya terus meluncur manik
mata itu tak sedetikpun melepaskanku.
Tante Dira terdiam, ia selesai dengan
ceritanya, tapi tangisnya belum juga berujung.
"tante bukannya, benci Rena, bukannya tidak merestui
kalian.. tante hanya tak ingin kamu hidup menderita, kamu udah tante anggap
anak sendiri, rasa sayang tante ke Rena sama seperti rasa sayang tante ke Ryan…
Rena tolong jangan benci tante…" kini tangan Tante Dira menangkup seisi
wajahnya berusaha mmenhentikan tangisan yang tiada ujung.
Aku bangkit dengan tubuh bergetar, ku hempaskan tubuhku
dipelukan tante dira, membebaskan ribuan air mata yang sedari tadi berontak
ingin keluar, kelepaskan semuanya, rasa penasaran, rasa sakit, dan segala
keganjilan yang selama ini menghantui hariku. Kenyataan pahit yang menjawab
semuanya,
Kenyataan mengenai kanker yang diderita Ryan menghujamku,
rasa bersalah mendominasi, penyakit yang sudah pasti berujung pada kematian,
ini dasar dari sikap tante Dira, alasan dari perkataan dan tingkahmu yang
ganjil, ini salah ku, jika aku bisa kembali
dihari itu, hari terakhir kau nyatakan perasaanmu, aku akan menerimamu
tanpa ragu sedikitpun, aku terlalu bodoh menjadikan keterbatasan sebagai
alasan, aku memang bodoh.
Aku menangis sejadi jadinya, bahkan berteriak histeris, tak
peduli berpuluh pasang mata menatapku heran, yang kupedulikan hanya hatiku,
hanya perasaanku.
20 Desember 2011,
"Hari ini, tepat hari ulang tahun mu, dan akhirnya
setelah tiga tahun aku menemukanmu, ulang tahun kita yang hanya berselisih satu
hari, nama kita yang tak jauh berbeda, dan hati kita yang jelas sama. Kau benar
kita memang cocok, Ryan selamat ulang tahun, sejauh apapun kamu pergi, kamu
akan tetap bersamaku kan didalam gantungan kunci ini…"
Aku bersimpuh diantara rintikan hujan yang tengah mengguyur
kota, tepat dihadapanku gudukan tanah dengan batu nisan berukirkan nama mu
'Ryan', kubuka genggamanku menatap lekat gantungan kunci lumba lumba darimu,
'tes' bukan air hujan melainkan air mataku yang meresap kedalamnya, kuhempaskan
payung hitam yang ku genggam kuberadu bersama hujan, kudongakkan kepalaku,
langit mendung kelabu, tepat disana cahya mentari samar terlihat, bersama
wajahmu yang tersenyum untukku
FIN